Integritas Pribadi
2 Tesalonika 3:9
Bukan karena kami tidak berhak untuk itu, melainkan
karena kami mau menjadikan diri kami teladan bagi kamu, supaya kamu ikuti.
Seorang ibu membawa anaknya kepada Mahatma Gandhi untuk dinasehati agar menghentikan kebiasaan buruknya makan permen. "Tunggulah dua minggu lagi. Datanglah ke sini lagi sambil membawa anak ibu," pinta Gandhi. Ibu ini heran, megapa harus menunggu dua minggu lagi. Meski heran, ibu ini menuruti saja.
Dua minggu kemudian, ketika ibu dan anaknya datang, Gandhi langsung menasehati anak itu. Sang ibu mengucapkan terima kasih. Sebelum pamit, ibu itu masih penasaran mengapa dia harus menunggu dua minggu. "Selama dua minggu ini, saya berusaha menghilangkan kebiasaan buruk saya. Soalnya, saya juga gemar makan permen," jawab Gandhi.
Gandhi adalah orang yang punya integritas karena dia menjaga keselarasan antara perkataan dan tindakannya. Paulus mengerti benar pentingnya integritas ini. Sebagai rasul, sebenarnya dia berhak menikmati sokongan hidup dari jemaatnya. Namun Paulus memilih bekerja untuk menghidupi dirinya sendiri. Dengan begitu, ketika menasehati jemaat di Korintus, dia bisa berkata lantang, "Jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan." (2 Tesalonika 3:10)
Dengan integritas yang terjaga, tanpa banyak mengobral kata-kata pun, Anda bisa menuntun banyak orang datang kepada Kristus. Mereka bisa melihat wajah Kristus tergambar dalam tindakan dan perkataan Anda yang selaras.
Rantai kebiasaan terlalu lemah untuk dirasakan, tetapi membutuhkan komitmen kuat untuk mematahkannya.
TIDAK MENANGIS SAAT AKU KALAH
"Aku berdoa supaya aku tidak menangis waktu aku kalah...."
Suatu ketika, ada seorang anak yang sedang mengikuti sebuah lomba mobil balap mainan. Suasana sungguh meriah
siang itu, sebab ini adalah babak final. Hanya tersisa 4 orang sekarang dan mereka memamerkan setiap
mobil mainan yang dimiliki. Semuanya buatan sendiri,sebab memang begitulah peraturannya.
Ada seorang anak bernama Mark. Mobilnya tak istimewa, namun ia termasuk dalam 4 anak yang masuk final. Dibanding
semua lawannya, mobil Mark-lah yang paling tak sempurna. Beberapa anak menyangsikan kekuatan mobil itu untuk
berpacu melawan mobil lainnya. Yah, memang, mobil itu tak begitu menarik. Dengan kayu yang sederhana dan sedikit
lampu kedip di atasnya, tentu tak sebanding dengan hiasan mewah yang dimiliki mobil mainan lainnya. Namun, Mark
bangga dengan itu semua, sebab, mobil itu buatan tangannya
sendiri.
Tibalah saat yang dinantikan. Final kejuaraan mobil balap mainan.
Setiap anak mulai bersiap di garis start, untuk mendorong mobil mereka kencang-kencang. Di setiap jalur lintasan, telah
siap 4 mobil, dengan 4 pembalap" kecilnya. Lintasan itu berbentuk lingkaran dengan 4 jalur terpisah di antaranya.
Namun, sesaat kemudian, Mark meminta waktu sebentar sebelum lomba dimulai. Ia tampak berkomat-kamit seperti
sedang berdoa.
Matanya terpejam, dengan tangan bertangkup memanjatkan doa. Lalu, semenit kemudian, ia berkata, "Ya, aku siap!".
Dor!!! Tanda telah dimulai.
Dengan satu hentakan kuat, mereka mulai mendorong mobilnya kuat-kuat. Semua mobil tu pun meluncur dengan cepat.
Setiap orang bersorak-sorai, bersemangat, menjagokan mobilnya masing-masing.
"Ayo..ayo... cepat..cepat, maju..maju", begitu teriak mereka.
Ahha...sang pemenang harus ditentukan, tali lintasan finish pun telah terlambai.
Dan...
Mark-lah pemenangnya. Ya, semuanya senang, begitu juga Mark. Ia berucap, dan berkomat-kamit lagi dalam hati.
"Terima kasih."
Saat pembagian piala tiba. Mark maju ke depan dengan bangga. Sebelum piala itu diserahkan, ketua panitia bertanya.
"Hai jagoan, kamu pasti tadi berdoa kepada Tuhan agar kamu menang, bukan?"
Mark terdiam. "Bukan, Pak, bukan itu yang aku panjatkan" kata Mark.
Ia lalu melanjutkan, "Sepertinya, tak adil untuk meminta pada Tuhan untuk menolongku mengalahkan orang lain, aku,
hanya bermohon pada Tuhan, supaya aku tak menangis, jika aku kalah."
Semua hadirin terdiam mendengar itu. Setelah beberapa saat, terdengarlah gemuruh tepuk-tangan yang memenuhi
ruangan.
Teman, anak-anak, tampaknya lebih punya kebijaksanaan dibanding kita semua.
Mark, tidaklah bermohon pada Tuhan untuk menang dalam setiap ujian.
Mark, tak memohon Tuhan untuk meluluskan dan mengatur setiap hasil yang ingin diraihnya. Anak itu juga tak meminta
Tuhan mengabulkan semua harapannya.
Ia tak berdoa untuk menang, dan menyakiti yang lainnya.
Namun, Mark, bermohon pada Tuhan, agar diberikan kekuatan saat menghadapi itu semua. Ia berdoa, agar diberikan
kemuliaan, dan mau menyadari kekurangan dengan rasa bangga. Mungkin, telah banyak waktu yang kita lakukan untuk
berdoa pada Tuhan untuk mengabulkan setiap permintaan kita. Terlalu sering juga kita meminta Tuhan untuk
menjadikan kita nomor satu, menjadi yang terbaik, menjadi pemenang dalam setiap ujian. Terlalu sering kita berdoa
pada Tuhan, untuk menghalau setiap halangan dan cobaan yang ada di depan mata.
Padahal, bukankah yang kita butuh adalah bimbingan-Nya, tuntunan-Nya, dan panduan-Nya? Kita, sering terlalu lemah
untuk percaya bahwa kita kuat.
Kita sering lupa, dan kita sering merasa cengeng dengan kehidupan ini. Tak adakah semangat perjuangan yang mau
kita lalui? Saya yakin, Tuhan memberikan kita ujian yang berat, bukan untuk membuat kita lemah, cengeng dan mudah
menyerah.
Jadi, teman, berdoalah agar kita selalu tegar dalam setiap ujian.
Berdoalah agar kita selalu dalam lindungan-Nya saat menghadapi itu ujian tersebut.
Amin....
Seseorang bersukacita karena jawaban yang diberikannya, dan alangkah baiknya perkataan yang tepat pada waktunya.
Amsal 15:23
Perkataan yang menyenangkan adalah seperti sarang madu, manis bagi hati dan obat bagi tulang-tulang. Amsal 16:24
Orang yang berpengetahuan menahan perkataannya, orang yang berpengertian berkepala dingin. Amsal 17:27
RENUNGAN LAIN
KISAH LANTAI PUALAM
Alkisah terdapat sebuah museum yang lantainya terbuat dari batu pualam yang indah. Di tengah-tengah ruangan museum itu dipajang sebuah patung pualam pula yang sangat besar. Banyak orang datang dari seluruh dunia mengagumi keindahan patung pualam itu. Suatu malam, lantai pualam itu berkata pada patung pualam.
Lantai Pualam: "Wahai patung pualam, hidup ini sungguh tidak adil. Benar-benar tidak adil! Mengapa orang-orang dari seluruh dunia datang kemari untuk menginjak-injak diriku tetapi mereka mengagumimu? Benar-benar tidak adil!"
Patung Pualam: "Oh temanku, lantai pualam yang baik. Masih ingatkah kau bahwa kita ini sesungguhnya berasal dari gunung batu yang sama?"
Lantai Pualam: "Tentu saja, justru itulah mengapa aku semakin merasakan ketidakadilan itu. Kita berasal dari gunung batu yang sama, tetapi sekarang kita menerima perlakuan yang berbeda. Benar-benar tidak adil!"
Patung Pualam: "Lalu apakah kau masih ingat ketika suatu hari seorang pemahat datang dan berusaha memahat dirimu, tetapi kau malah menolak dan merusakkan peralatan pahatnya?"
Lantai Pualam: "Ya, tentu saja aku masih ingat. Aku sangat benci pemahat itu. Bagaimana ia begitu tega menggunakan pahatnya untuk melukai diriku. Rasanya sakit sekali!"
Patung Pualam: "Kau benar! Pemahat itu tidak bisa mengukir dirimu sama sekali karena kau menolaknya."
Lantai Pualam: "Lalu?"
Patung Pualam: "Ketika ia memutuskan untuk tidak meneruskan pekerjaannya pada dirimu, lalu ia berusaha untuk memahat tubuhku. Saat itu aku tahu melalui hasil karyanya aku akan menjadi sesuatu yang benar-benar berbeda. Aku tidak menolak peralatan pahatnya membentuk tubuhku. Aku berusaha untuk menahan rasa sakit yang luar biasa."
Lantai Pualam: "Mmmmmm...."
Patung Pualam: "Kawanku, ini adalah harga yang harus kita bayar pada segala sesuatu dalam hidup ini. Saat kau memutuskan untuk menyerah, kau tak boleh menyalahkan siapa-siapa atas apa yang terjadi pada dirimu sekarang."
Bagaimana dengan kita? Sudah siapkah untuk 'dipahat'?